Minggu, 20 Desember 2015

Kalau Belajar Sekedar Belajar



“Kalau belajar sekedar belajar, hewan di tempat sirkus juga belajar”.

Belajar adalah mempelajari sesuatu yang baru, yang tidak diketahui sebelumnya. Hal tersebut membuat makhluk hidup dapat melakukan sesuatu, selain hal-hal yang umumnya bisa dia lakukan begitu dia lahir di bumi ini. Semakin dia dapat melakukan sesuatu dengan baik dan banyak, artinya dia telah semakin banyak belajar.

Tapi, apakah semua makhluk hidup memiliki cara belajar yang sama?

Tidak. Contohnya manusia dan hewan, keduanya makhluk hidup, tetapi manusia diberi akal, kemampuan berpikir yang lebih daripada hewan. Dengan begitu, manusia dituntut untuk terus berinovasi, menciptakan sesuatu yang baru, menciptakan peradaban, dan berevolusi. Sehingga, berbeda dengan hewan, manusia berkembang dari masa ke masa. Sedangkan hewan? Tetap sama dari masa ke masa.

Tapi, tidak semua hewan sama saja perilakunya dari masa ke masa. Ada, hewan yang belajar, sehingga lebih istimewa dari jenisnya yang lain. Contohnya, hewan sirkus.
Seekor lumba-lumba dapat melewati sebuah lingkaran berapi, dapat berhitung, dan berdansa di atas air. Bukan hanya lumba-lumba, anjing laut, beruang, bahkan monyet, dapat bermain peran dalam suatu pementasan jalanan, ‘topeng monyet’.



 

Nah, tapi ternyata mereka bisa belajar, karena adanya manusia yang melatih mereka. Mereka tidak bisa berkembang sendiri. Mereka hanya ‘meniru’. Tanpa ajaran yang berkembang, mereka akan tetap meniru hal yang sama. Terus seperti itu, tanpa ada inovasi, karena mereka hanya meniru.
Maka dari itu, sebagai manusia, boleh lah kita malu pada diri sendiri, dan hewan-hewan di sekitar kita, apabila cara belajar kita masih sekedar ‘meniru’. Semua yang diajarkan dosen, misalnya, ditelan bulat-bulat. Kemudian tanpa ada inovasi, dikeluarkan pula bulat-bulat, bahkan lebih sedikit dari itu. Bila ada masalah baru, yang berbeda jauh dari ajaran dosen, kita tak mampu menyelesaikannya. Harus menunggu diarahkan, baru lah kita bisa. Padahal internet sudah tersedia, buku-buku bergelimangan di luar sana, dan jurnal-jurnal sudah disediakan kampus tercinta. Perintah Tuhan, ‘iqra’ atau ‘bacalah’ nya, dilupakan begitu saja.

Jadi, patutkah kita, sebagai manusia yang beruntung, sekedar meniru ajaran dosen atau guru? Jadi, maukah kita, disamakan dengan makhluk hidup jenis lain, diluar sana? Jadi, maukah kita, kembali membaca? 

“Kalau belajar sekedar belajar, hewan di tempat sirkus juga belajar”.

Depok, 20 Desember 2015
Ratna S Gandana

Kamis, 17 Desember 2015

Refleksi Diri!

Malam ini memang aku sedang bingung. Apa yang hendak diri ini bicarakan, dalam sebuah tulisan yang sepertinya terkesan dipaksakan. Bukan hanya terkesan, kawan, tapi memang tulisan ini dipaksakan.

Beberapa hari yang lalu, saat membuat blog ini, diri ini pernah berjanji untuk selalu menulis. Satu kali setiap hari, minimal. Menyempatkan untuk menuliskan segala sesuatu yang berharga, baik itu pengetahuan, motivasi, nasihat, nilai, maupun hanya sekedar refleksi diri.

Kali ini, mungkin sudah saatnya penulisan refleksi diri ini kutuangkan. Tapi, sebelum itu, ada suatu pertanyaan penting.

Apa itu refleksi diri? Mengapa kita harus melakukan refleksi diri?

Well, refleksi diri itu, seperti memutar kembali memori lalu mengevaluasinya. Seperti, terkadang diri ini mencoba untuk selalu melakukan refleksi diri sebelum tidur. Sehingga tahu, apa saja hal baik dan buruk yang dilalui dalam satu hari ini, dan harus disyukuri. Dengan begitu, hikmahnya bisa didapatkan. Kemudian dievaluasi, agar menjadi lebih baik. Karena: orang yang lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang beruntung.

Lalu, mengapa kita harus melakukan refleksi diri?
1. untuk evaluasi, apa saja yang telah kita lakukan sehari-hari, seharian penuh. Bila kita mengetahui ada sesuatu yang salah, kemudian mengevaluasinya, maka di hari esok (hari yang masih suci dan belum terkotori) kemungkinan kesalahan yang sama tak akan terulang. Kemudian bila kita mengetahui ada sesuatu yang benar, kemudian mengevaluasinya, maka di esok hari kebenaran tersebut akan tetap bertahan, bahkan bisa jadi itu meningkat.
2. Untuk mensyukuri. Terkadang, kita terlalu lupa untuk bersyukur, karena kesibukan yang tiada habisnya. Dengan refleksi diri, kita bisa belajar bersyukur. Bersyukur, ada kebahagiaan dan masalah yang bermakna. Tanpa melakukan refleksi diri, maka makna-makna tersebut akan terlewat begitu saja. Menguap. Lalu hilang, terlupakan.

Lalu, kalau sibuk, kapan kita melakukan refleksi diri?
1. Disaat setelah shalat, sertakan pula dzikir dan shalawat

2. Disaat hendak tidur, karena ada suatu fase dimana tubuh beradaptasi sebelum masuk ke fase tidur.

3. Disaat memegang gadget dan terhubung ke internet. Mungkin sudah saatnya, mengganti tulisan galaumu, ke tulisan yang lebih bermakna. Sebenarnya refleksi diri juga termasuk 'tulisan galau'. Tapi perbedaannya, refleksi diri itu menggambarkan diri kita. Memangnya mau, diri kita ditaampilkan sebagai orang alay hanya karena kata-kata kita? Memangnya mau, diri kita ditampilkan sebagai pemarah hanya karena sering membuat status yang marah-marah?


Jadi? Ayo refleksi diri! Sebelum terlambat penuh penyesalan.

Depok, 18 Desember 2015 [1:07]
Ratna Suryani Gandana
“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.” - See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.co.id/2012/02/derajat-hadits-barangsiapa-yang-hari.html#sthash.c2YbLEdT.dpuf
“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.”
- See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.co.id/2012/02/derajat-hadits-barangsiapa-yang-hari.html#sthash.c2YbLEdT.dpuf
“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.”
- See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.co.id/2012/02/derajat-hadits-barangsiapa-yang-hari.html#sthash.c2YbLEdT.dpuf
“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.”
- See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.co.id/2012/02/derajat-hadits-barangsiapa-yang-hari.html#sthash.c2YbLEdT.dpuf

“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.”
- See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.co.id/2012/02/derajat-hadits-barangsiapa-yang-hari.html#sthash.c2YbLEdT.dpuf

Rabu, 16 Desember 2015

Please Read Please Ask

Religion is the product that is produced by our ancestors with 'wahyu' from the God. It was created in a very different condition than today. that's why it is understandable if the content is different with the nowadays condition. But, the value will never die. That's why we need to make it understandable, by reading the tafsir.

If you don't understand, please read. If you feel it wrong, please read. If you don't want to read, don't want to understand about it, then, please, don't say even a word of mockery. Don't insult it.

It is not only for islam, but also for all religion in the world.

If you can't understand, please read and ask, to the one who understand about it the most. If you only read, for a chapter, even only for a sentence, please stop your mouth, before you hurt the others.

Depok, December 16th, 2015
Ratna S Gandana

https://www.facebook.com/marsyah.fahrudiansyah/videos/1248318098515387/

Selasa, 15 Desember 2015

Begitu Singkat dan Bermakna

Di dalam hidup, pasti ada suatu episode dimana kita berhasil dan gagal. Ada juga suatu episode, dimana kita benar-benar bersyukur. Ada pula suatu episode dimana kita bersumpah serapah, lupa akan nikmat yang selalu didapatkan di setiap hembusan nafas.

Semua itu berlangsung begitu saja. Begitu singkat. Tak bisa diulang kembali. Karena hal itu berikatan dengan waktu, sesuatu yang paling mahal di dunia ini.

Benarkah begitu singkat?
Ya. Pernahkah kita mengalami suatu keberhasilan? Apakah pestanya berlangsung seumur hidup? Tidak. Hanya sebentar. Misalnya, ketika pemilihan presiden kemarin. Pesta digelar, jalanan tumpah oleh rakyat dan sampah yang dibawanya. Semuanya bahagia, menyambut 'Era Baru' yang dibawa oleh Presiden Jokowi. Tetapi, setelah hari itu berakhir? Semua orang kembali seperti biasa. Masalah-masalah yang dihadapi dan kian pelik, membuat semua orang lupa akan kebahagiaan itu.

Oh, tidak perlu lah kebahagiaan pak Presiden dan beberapa rakyatnya. Diri kita saja. Pernahkan mendapat kebahagiaan itu? seperti diberi hadiah, memenangkan sesuatu, mendapat nilai bagus, dll. Apakah 'euforia'nya berlangsung selama kita hidup?

Tidak. Euforia itu hanya sekejap. Hanya sebuah episode dalam hidup ini. Begitu singkat.

Di dalam singkatnya euforia itu, kita benar-benar bahagia. Bersyukur. Bahkan merasa bahwa Allah ada di samping kita. Dunia mendukung kita. Alam raya ini berseru, untuk kita.

Tapi, 'euforia' yang singkat ini, akan menjadi lebih singkat. Ketika suatu episode bernama 'kegagalan' muncul. Apalagi bila secara tiba-tiba.

Sumpah serapah, alkohol,  rokok, dan kawan-kawannya pun muncul. Menemani episode kegagalan ini, sebagai bentuk koping. Terkadang, rasa syukur yang diumbar saat episode keberhasilan tercapai pun, menguap begitu saja. Seakan lupa, bahwa kita pernah berhasil.

Rasa-rasanya di episode ini, suatu pepatah memang paling pas untuk diungkapkan. "Kemarau setahun, hilang oleh hujan satu hari."

Begitu singkat. Singkat sekali.

Lalu, untuk apa kita melewati episode singkat itu? Apakah Allah, yang telah menakdirkan kita episode-episode tersebut, hanya bermain-main saja? Apakah kita hanya melewatinya begitu saja?

Tidak, kawan, pasti ada maknanya.

Bahkan, apel yang jatuh dari pohonnya saja begitu bermakna, membuat Newton berhasil mengemukakan konsep gravitasi.
Bahkan, Archimedes pun menemukan hukum archimedesnya dari bak mandi.

Walau episodenya sesingkat itu, tapi bermakna, bukan?

Nah, apakah episode kebahagiaan dan kesedihan juga bermakna?

Tentu saja. Bermakna. Bisa menjadi pelajaran, diambil intisari.

Dan satu hal yang pasti. Akan lebih bermakna dan abadi, apabila ia disyukuri.
Benar, disyukuri.
Semakin disyukuri, maka kejadian itu akan semakin mengingatkan kita pada Yang MahaKuasa, Sang Pencipta. Semakin kita mengingat-Nya, Pemilik Keabadian di dunia ini, maka akan semakin abadi, rasa syukur itu. Akan semakin abadi, episode itu. Dan akan semakin abadi, pelajaran itu.

Loh, bukankah kekalahan itu lebih baik dilupakan?

Kata siapa? Apakah pelajaran hanya bisa didapatkan dari kemenangan? Apakah hal tersebut tidak bermakna?

Selama itu adalah episode dalam hidup kita, bila terus disyukuri, maka akan menjadi lebih abadi dan bermakna. Walau episode nya hanya sesingkat itu.

"Karena tak ada satu episode pun dalam hidup kita, yang tidak ada maknanya".

Depok, 15 Desember 2015
Ratna S Gandana




Let Go the Stereotypes!

"Just because one of us doing that, it doesn't means all of us will doing the same exactly thing like that"
For 19 years I live as a muslimah, I never told by my religion teacher, parents, and all of my islamic relatives, to do the terrorism in the world. Since I still 6 years old, when I can read Al-Quran, Sunnah, islamic books, and everything about islam, I never found that a muslim need to do the terrorism in order to get the heaven/jannah.
Then, what I have learn from islam?
I learned that killing people is forbidden, because killing one inoncent person, it means that we kill all people around the world (Q.S. Al-Maidah, 5: 32).
I learn that in the war, there are 3 steps:
1. Offer the enemies to be a muslim
2. If they don't want to be a muslim, then they need to give the owner of the land (when it is owned by muslim) the tax
3. If they don't want to give the tax, then it is considered that they want to begin the war
When it is a war, then there are several things that we need to do:
1. don't kill woman and children
2. don't kill the sick person
3. don't kill the leader of every religion
4. don't destroy the house to pray, ex: mosque, church, temple
5. don't destroy the trees, and the environment
and so on...
From that reason, I think the one who creating a mass terrorism in the world are not understand about islam. Even if, they might be a muslim, I think they are wrong, because they use an islamic background as their reason of terrorism. They don't care about their brother and sister around the world. As the muslim, I really hate and regret their action. They need to get the punishment in the world and according Al-Quran, they will also get the punishment in the hereafter.
Yes, the one who need to get the punishment is the one who have done the action. Not the innocent people who are by accident, have the same background as them. It is the same, for all people with the different background in the world (religions, skin color, culture, country, and all.)
Depok, December 13th, 2015
Ratna Suryani Gandana